Tag Archives: terampil

Sesuatu yang kuingat ketika umurku 2 tahun

Ketika aku berusaha mengingat masa yang telah silam, Alhamdulillah aku bisa mengingat dengan jelas suatu kejadian pada 60 tahun yang lalu. Satu demi satu kenangan masa lalu bermunculan dipikiranku. Masih terngiang di telingaku suara khas mendiang ibu, ketika suatu hari aku bertanya.

“Ibu, waktu aku pertama kali ingin sekolah, aku diam-diam mengikuti kakak ke sekolah Taman Kanak-kanak. Berapa umurku waktu itu Bu? Dua tahun ya Bu?”

“Iya, 2 (dua) tahun lebih. Sejak itu kamu terus berangkat ke sekolah, meskipun kakakmu selalu marah karena malu dengan teman dan gurunya. Hehehe, namun ibu tidak pernah melarangmu, karena ibu tahu bagaimana sifatmu.”

Ya, itulah yang dikatakan oleh ibu, saat aku masih berumur 2 (dua) tahun lebih dan kakak 5 tahun.  Aku mengendap-endap berjalan keluar rumah membuntuti kakak yang berangkat ke sekolah. Aku tak pernah memakai rok dan belum pernah diajak pergi. Hari itu aku memakai celana monyet.

“Lho mana tadi kakak? Oh itu dia.” Ternyata kakak kalau berjalan tak secepat aku dan tak pernah menengok ke belakang. Jadi tak mungkin aku ketahuan. Dari rumah, aku berjalan lurus ke depan sekitar 100 m, kemudian ada pertigaan jalan, aku membelok ke kiri. Setelah berjalan kurang lebih 30 m, belok lagi ke kiri. Di sana ada 4 (empat) rumah berderet dan rumah paling ujung adalah sekolahnya kakak.

Di sana ada sebuah ayunan dan sebuah “plorotan” (bahasa Jawa). Di dekat ayunan ada sebuah pohon mangga, tak begitu tinggi, namun rindang. Di pohon itu terdapat seekor kera kecil dan lucu yang diikat dengan rantai besi. Halaman sekolah cukup luas dan berpagar tanaman luntas. Aku bersembunyi di pagar itu. Kulihat, satu demi satu teman-teman kakak pada datang, bu gurunya belum kelihatan.

“Teng … teng … teng.” Oh ternyata teman kakak yang membunyikan bel. Murid-murid berbaris, di depan mereka tahu-tahu sudah ada bu guru. Setelah mereka rapi, terus satu persatu berjabat tangan dengan bu guru dan masuk kelas.

Dari tempat persembunyian, aku melihat mereka mulai belajar. Aku mengendap-endap mendekati pintu kelas. Hehehe … akhirnya sampai di tembok kelas dekat pintu masuk dan aku berjongkok disitu sambil mendengarkan. Karena aku ingin mendengarkan suara bu guru, aku memejamkan mata agar lebih konsentrasi. Ya suara itu makin jelas, murid-murid diminta melipat kertas dan membuat sebuah perahu. Aku sudah bisa, boleh tidak ya masuk ke dalam, ikut sekolah? Aku tak boleh ragu, ya aku ingin sekolah. Aku harus mengetuk pintu, memberi salam. Sopan … ya harus sopan dan tidak boleh sampai ditolak, berjuang sampai diperbolehkan sekolah. Kubersihkan wajah, badan, tangan dan kaki, oh untung aku selalu memakai sandal. Senyum … ya harus senyum. Akhirnya aku berjalan tegap mendekati pintu. Kuketuk pintu itu sambil memberi salam.

“Selamat pagi bu guru.” Wah gurunya dimana ya, kok tidak kelihatan. Oh itu membetulkan perahu murid yang sebelah sana. Kutunggu saja dahulu. Nah … itu bu guru berjalan ke depan.

“Selamat pagi bu guru.”

“Selamat pagi. Eh siapa kamu nak?”

“Nama saya Fifien bu guru, bolehkah saya ikut bersekolah? Saya ingin sekali sekolah, saya dapat membuat perahu itu. Boleh ya bu?” Oh bu guru itu berpikir sejenak, kemudian menjawab dengan tersenyum.

“Fifien, kamu harus memakai rok dan kamu juga masih sangat kecil, ayo bermain di luar, itu ada ayunan. Kamu boleh bermain ayunan.”

“Bu guru besok saya akan memakai rok, mau meminjam roknya kakak. Sekarang saya ingin sekali ikut sekolah, duduk di bawah juga tidak apa-apa bu, kan Fifien tidak membayar uang sekolah. Kalau nanti sudah seperti mereka, Fifien juga akan membayar bu. Boleh kan bu?”

“Ya sudah, duduk di bawah sini, jangan nakal, ibu akan ambilkan kertas lipat untukmu.”

Ya Allah, terima kasih, aku ingin sekolah. Aku akan belajar dengan baik dan menurut pada bu guru.

“Ini kertas lipat untukmu, buatlah mainan terserah kamu. Duduk disini saja, jangan masuk ke dalam, nanti murid-murid yang lain jadi ribut dan tidak belajar.”

“Iya bu terima kasih. Saya disini saja, asalkan saya boleh belajar.”

Selagi aku asyik membuat perahu, tahu-tahu ada murid yang mendatangiku.

“Eh anak kecil, siapa kamu? Mengapa kamu ada disini dan duduk di bawah? Lho kamu kok bisa membuat perahu.”

Saya belum sempat menjawab, eh dia teriak-teriak pada teman-temannya.

“Teman-teman ini ada anak kecil disini, bisa membuat perahu bagus sekali.”

Kemudian mereka berlari mendekatiku, melihatku. Oh kakakku juga mendekatiku. Ya tampaknya dia marah.

“Lho mengapa kamu mengikutiku sampai kesini? Mbak kan sedang sekolah, kamu masih kecil, pakaianmu juga seperti itu, mbak malu lho, nanti mbak di marah sama Bu Anik. Ayo kamu pulang saja, kalau lupa jalannya, mbak yang antar kau pulang.”

Belum sempat aku menjawab, bu guru … ya namanya bu Anik, mendatangiku.

“Ayo anak-anak kembali ke tempat dudukmu masing-masing. Selesaikan perahu kalian, setelah itu kalian akan menggambar. Tidak boleh menggerombol disini ya.”

“Bu ini adiknya Tyas, kok ikut membuat perahu disini bu. Boleh ikut sekolah ya? Duduk sama saya ya Bu, dia dapat membuat perahu dan bagus sekali, saya ingin diajari bu.”

“Jangan Bu Anik, adikku masih kecil, nanti mengganggu. Bu saya pamit pulang dulu mengantar adik.”

“Tyas, biarkan adikmu di situ, tidak mengganggu kok, dia juga bisa membuat perahu seperti kalian, tuh perahunya bagus sekali. Kamu duduk lagi ya, biar nanti bu Anik yang mengurus adikmu.”

“Iya Bu, tapi hari ini saja ya bu, saya malu.”

“Mengapa malu sayang, adikmu ingin sekolah dan dia ternyata pintar.”

“Jangan bu dia masih kecil, belum waktunya sekolah. Nanti dia cepat tua lho Bu.”

“Hahaha, kamu lucu Tyas, sudahlah ayo kembali ke bangkumu lagi.”

Saya tenang saja dibicarakan seperti itu. Untung saya tadi sudah berusaha sopan, tidak nakal seperti yang dikatakan kakak. Semoga saya boleh ikut sekolah terus. Bu Anik kemudian meminta murid-murid mengangkat perahunya dan bu Anik keliling melihat perahu itu.

“Anak-anak, perhatikan perahu teman kalian. Perahu mana yang paling bagus?”

Saya juga ikut mengangkat perahuku. Ternyata ada satu perahu yang bagus, yaitu perahu milik murid yang tadi mau mengajak saya duduk di bangkunya.

“Ita Bu yang perahunya paling bagus.” Teriak murid-murid.

“Iya benar, selamat ya Ita perahumu paling bagus.”

“Tidak bu yang paling bagus itu perahu adiknya Tyas. Itu dia juga mengangkat perahunya. Ayo teman-teman kita lihat perahunya, bagus sekali lho.”

“Iya bu Anik, perahunya bagus.”

“Oh iya, wah … Fifien pandai sekali ya membuat perahu. Selamat ya sayang, besok kamu boleh ke sini lagi.”

Alhamdulillah, aku senang sekali. Ternyata perahuku paling bagus. Mulai besok aku harus sekolah terus dan harus pintar.

“Terima kasih bu Anik, terima kasih semuanya. Besok saya ikut sekolah lagi ya.”

“Bu Anik, adikku sekolahnya pupuk bawang ya, duduk di bawah dan tidak bayar sekolah, iya bu?”

Aku diam saja sambil berdoa, semoga bu Anik tidak merubah lagi keputusannya. Kalau dipikir-pikir, berarti kakakku sudah setuju dengan bu Anik. Ya ya ya, asyik deh.

“Iya Tyas, tidak perlu membayar uang sekolah. Adikmu duduk di bawah karena bangkunya habis dan adikmu kan ingin melihat kalian belajar. Dia tidak mengganggu, jadi ibu membolehkan dia besok datang lagi.”

Begitulah kisahku saat pertama kali bersekolah, hehehe ‘pupuk bawang’. Lumayanlah tidak perlu membayar uang sekolah. Tidak apa-apa duduk di bawah. Namun hari demi hari aku makin terampil dan bisa belajar apa saja seperti yang lain. Setiap membuat sesuatu, milikku selalu terbaik, namun kalau menulis, ehmm … tulisanku kurang baik, hehehe.