Tag Archives: tanggung jawab guru

Part 3: Dia berupaya menjadi anak yang baik

Berikut ini lanjutan reportase pembinaan karakter khusus untuk anak yang semula super malas. Sudah 2 artikel yang ku publish, pertama kisah tentang Gundi yang super malas, dan di artikel kedua dia sudah mulai berubah, alhamdulillah. Hingga artikel ini ku publish, dia tampak berupaya menjadi anak yang baik. Terlihat bahwa dia mempunyai keinginan kuat untuk mengubah sikap. Pada awalnya dia merasa sangat sulit dan mengalami kegagalan yang berulang. Rasa malasnya sering muncul tanpa disadari.

Siang ini dia datang ke ruang guru untuk menceritakan keadaannya.  Alhamdulillah aku bisa lancar membina anak-anak di ruang guru, sebab tempatnya di ujung ruangan, sehingga tak terganggu dan tak mengganggu siapapun. Bicara kami juga cukup pelan, Insya Allah tak terdengar oleh yang lain. Sekarang penampilan Gundi sudah lebih baik. Rambutnya sudah rapi, baju dan seluruh penampilan dirinya tak seperti sebelumnya. Perubahannya cukup banyak, alhamdulillah. Gundi, ibu ingin sekali melayanimu secara total. Insya Allah kau benar-benar tersugesti oleh kesungguhan ibu dan tanggung jawab ibu yang besar kepadamu. Semoga Allah SWT mengirimkan engkau ke sini nak. Insya Allah motivasi internalmu bangkit.

“Ayo sayang, duduk sini. OK, ceritakan mengapa kau tampak sedih. Barangkali dengan berbagi, ibu dapat membantumu.”

“Iya Bu, maafkan saya. Sebenarnya sebagai laki-laki saya tak ingin menjadi cengeng Bu. Namun ibu tadi ternyata dapat membaca wajah saya, sekali lagi maaf ya Bu.”

“Sudahlah sayang, dari awal ibu sudah berniat untuk membantumu.”

“Bu, orang tua saya tuh sering bertengkar, hampir setiap hari, pagi siang sore malam, saya sedih memiliki orang tua seperti itu.”

“Lho katanya tidak mau cengeng, ayo teruskan ceritamu.”

Saya ambil beberapa lembar tissue dan saya berikan kepadanya.

“Saya anak kedua Bu, kakakku Giri tahun lalu sudah lulus dari SMA swasta terus bekerja. Dia ingin kuliah sore untuk menjadi guru, tetapi orang tua kami marah. Dia tidak boleh menjadi guru, katanya lebih baik berdagang. Sedangkan kami tak mempunyai modal. Kata bapak bisa meminjam uang di bank. Kami berdua bingung karena rumah kami itu juga rumah nenek, suratnya tidak ada, tidak bisa untuk jaminan.”

“Wah … kau ini juga memikirkan hal-hal seperti itukah? Sebaiknya tidak usah ikutan, biar kakakmu dengan orang tuamu, kau belajar saja. Kalau tentang orang tuamu yang suka marah, ya nanti ibu mencoba mencari cara bagaimana mengatasinya.”

“Ibu, tak mungkin Bu, orang tuaku mau bercerai, hik hik hik.”

“Lho laki-laki kok menangis, sudahlah sayang kau harus kuat, nilaimu jelek sekali, sekarang ingin rajin, eh … bisa-bisa kau stress berat karena bingung dan kecewa lho. Malasmu bisa kambuh lagi, terus bisa tidak naik kelas. Ayo ibu mendampingimu, tetapi jangan seperti ini. Laki-laki tidak boleh begitu.”

“Ibu, masih ada rahasia yang lebih penting lagi, ibu ada waktu?”

“Ya sayang, katakan sekarang.”

“Kami mau diusir sama nenek, karena orang tua bertengkar terus. Kami tidak tahu mau tinggal dimana, saya rasanya malas sekolah, semua kak Giri yang membiayai. Kasihan dia. Sejak masuk SMA saya sudah sangat malas, pelajarannya sulit-sulit, tidak ada buku yang dapat saya beli. Situasi di rumah panas, ayah juga kena PHK. Ibu sekarang berjualan, tetapi uangnya diambili ayah terus. Hik hik hik.”

“Sabar sayang, sudah jangan menangis, sementara ibu tak dapat membantu apa-apa, kau masuk kelas dulu, itu bel sudah berbunyi. Pesanku, keinginanmu mengubah sikap lanjutkan, jangan malas lagi, Insya Allah ibu terus membantumu.”

Dia berdiri, diciumnya tanganku dan berjalan menuju kelasnya. Aku termenung, pikiran ini berputar mencari jalan ke luar yang pantas dan sesuai untuk Gundi, namun tetap belum ku temukan. Ah tak ada yang sulit, aku harus bisa, bisa, Insya Allah bisa. Keluarga Gundi memiliki masalah yang tergolong rumit. Namun aku tak bisa meninggalkan Gundi tanpa solusi. Kakaknya Giri, juga kasihan. Kalau cerita Gundi apa adanya, maka kasihan juga ibunya. Mengapa ayahnya begitu? Mungkin karena tidak dapat membiayai kedua anaknya, si ayah itu malu. Kalau dia mau berjualan dengan istrinya, kan bisa dapat uang kontan terus. Ini mungkin menjadi pemicu si ayah di PHK, karena marah-marah terus, bagaimana dapat bekerja dengan baik? Apakah si ayah ini peminum ya? Kemungkinan begitu, karena suka mengambil uang dagangan istrinya. Kalau makanan kan sudah disiapkan si istri. Masalah Gundi kompleks sekali, namun aku tetap akan berupaya untuk membantunya.

To be continued