Tag Archives: pemberian tugas

Part 1: Bagaimana cara menangani anak super malas?

Saat membuka catatan harian, aku terhenti pada tulisan tentang ‘Anak Super Malas. Aku teringat pada anak didikku yang sangat malas dan hampir membuat aku kehilangan kesabaran. Ketika pembelajaran kimia berlangsung dan anak-anak sedang mengerjakan soal di bangku masing-masing, ku datangi dia. Namanya Gundi (nama samaran), pakaiannya lusuh, rambut tak terawat, bajunya sering dikeluarkan, tidak memakai kaos kaki, sepatu diinjak, dan kakinya diseret kalau berjalan.

images (12)

“Gun, mana pekerjaanmu?”

“Belum Bu.”

“Mana bukumu, ibu ingin melihatnya.”

“Saya belum mengerjakan, apa yang mau ibu lihat?”

“Kemarikan buku tugasmu itu, ibu mau melihat catatanmu sebelumnya.”

“Belum Bu.’

“Buku yang kau pegang itu berikan ibu.”

Dengan malas dan wajah cemberut Gundi memberikan bukunya. Sampulnya lusuh tanpa nama. Halaman pertama Fisika, halaman berikutnya Kimia. Diket.: …. Ditanya: …. Jawab: Kosong. Catatannya amburadul sekali. Halaman berikutnya Fisika lagi. Ya ampun, sabar … sabar, aku harus sabar.

“Dimana buku catatan kimiamu?”

“Ya yang ibu pegang itu, masih campur dengan Fisika.”

Aku  bingung harus bagaimana. Ehmm … semua guru mengatakan bahwa anak ini sulit sekali dibina. Sudah hampir satu semester belajar di kelas X namun catatan saja seperti itu. Dari 3 kelas yang ku bina, dialah yang paling menjengkelkan. Aku belum menemukan titik terang untuk membuatnya sadar. Ku pandang wajahnya, dia segera menunduk. Kalau aku bicara lagi, tentu akan emosi. Ya …  sudahlah mendingan biar saja untuk sementara. Akhirnya aku melangkah pergi dan melihat kelompok lain. Hampir semua siswa bekerja dengan baik, saling menjelaskan, pekerjaannya tampak rapi dan sistematis. Ya ada sih beberapa siswa yang lambat bekerja dan selalu dibantu teman. Namun siswa yang satu ini sungguh berbeda. Apa yang harus hamba lakukan ya Allah?

Dua hari setelah kejadian itu, aku masuk lagi ke kelas Gundi. Pada waktu berdoa, ku lirik dia, ya ampun … dia memegang HP seperti sedang sms. Ehmm … aku melanjutkan berdoa. Setelah selesai doa, saya mengoreksi PR siswa dan membahas dua soal yang sulit. Gundi tampak acuh sekali. Sementara saya tak memperhatikannya dulu, sebab harus segera masuk ke kegiatan inti. Alhasil proses pembelajaran ini lancar. Diskusi kelompok dan diskusi kelas telah selesai. Selagi siswa mencatat pembahasan dari papan tulis, ku dekati Gundi.

“Mana buku pekerjaanmu?”

“Ini Bu.”

“Kau mengerjakan sendiri?”

“Tidak Bu, nyontoh anak-anak.”

“Sudah kau pelajari?”

“Sudah Bu, sambil menulis tadi.”

“Apakah kau sudah mengerti?”

“Mungkin.”

“OK silakan kerjakan di papan. Ingat bahwa siapapun yang bersedia mengerjakan soal di papan, berarti bisa. Kalau belum paham benar, sebaiknya belajar dulu sampai paham.”

“Ya.”

Namun dengan malas dia berdiri dan berjalan menuju papan tulis.

“Berhenti dahulu. Masukkan bajumu, kaki jangan diseret dan betulkan sepatumu. Mulai sekarang sepatu itu jangan diinjak lagi.”

Setelah baju dimasukkan, eh … dia berjalan dengan langkah tegap menuju papan. Berjalannya aneh dan lucu,  setiap melangkah kakinya diangkatnya tinggi-tinggi. Teman-temannya tak ada yang tertawa, sebab semua anak tak menyukainya. Sampai di papan Gundi terus menulis.

“Stop, letakkan bukumu di meja ibu dan lanjutkan lagi. Ingat peraturannya.”

Diketahui dan ditanyakan sudah ditulis, maka jawaban harus dapat dikerjakan tanpa melihat buku. Gundi terdiam sesaat, kemudian ditulisnya suatu rumus dan dihapus kembali. Dia mulai tampak resah dan malu. Tak lama dia mengambil bukunya dan duduk.

“Mengapa tak jadi kau jawab soalnya?”

“Tidak bisa Bu.”

Apa yang harus ku lakukan? Inilah sebenar-benarnya tantangan bagi guru. Insya Allah aku bisa, ya harus bisa membina karakternya. Malas adalah salah satu karakter yang harus dirubah. Kalau hal ini terbawa sampai tua, tentulah dia akan kecewa di belakang hari. Malasnya Gundi ini tergolong parah; bayangkan … berpakaian rapi saja malas. Pakai sepatu dengan benar, malas. Eh berjalan juga malas, seperti ingin terbang saja. Allah SWT sudah memberi kita kaki untuk berjalan, eh … dia malas menggunakan kakinya dengan baik. Malasnya bukan main, rambutpun seperti tidak pernah disisir. Astaqfirullah.

“Mengapa kau tadi maju ke papan kalau tak bisa?”

“Tadi saya merasa bisa.”

“Ehm … apa?”

“Saya sudah berusaha lho bu.”

“OK. Apa yang akan kau lakukan nanti?”

“Saya masih pusing Bu, malu selalu tidak bisa.”

“Malu? Baguslah kalau kau merasa malu. Kau sudah mulai menyadari kekuranganmu. Sebenarnya tidak ada sesuatu yang sulit, asalkan kau mau menyadari bahwa malas itu sangat menghambat kemajuanmu. Ibu mau bertanya, akibat dari malasmu itu apa?”

“Banyak Bu, hampir semua tugas tidak kukerjakan. Sampai cara berpakaian, cara berjalan dll juga menunjukkan bahwa saya malas. Saya malu sekali Bu, semoga mulai detik ini saya dapat berubah. Ibu benar, makin lama teman-teman makin acuh karena saya juga acuh pada diri sendiri.”

“Kuncinya ada pada diri sendiri sayang, ibu merasa gembira kau dapat menyadari hal itu. Tentu saja kau menjadi malu sekali. Coba lihat seluruh penampilanmu, sebenarnya sudah lama ibu berpikir, mengapa kau bisa seperti ini? Kau sungguh anak yang malas. Mulai detik ini ubahlah sikapmu nak, perjuangkan hidupmu, lakukan yang terbaik untuk masa depanmu. Ibu setuju sekali, lakukan sekarang juga, jangan ditunda dan senyumlah sayang.”

Dia memaksakan dirinya untuk tersenyum. Seperti ada sesuatu dalam hidupnya yang membuatnya malas. Semoga kejadian ini tidak terulang lagi. Lusa aku harus menemuinya lagi dan harus rutin membinanya. Titik terang sudah mulai terlihat, aku tak boleh menyia-nyiakan hal ini.

To be continued.