Tag Archives: angkutan kota

Sesuatu yang menakjubkan

Suatu hari saya naik angkot (angkutan kota) dari rumah menuju tempat les. Sesuatu yang menakjubkan terjadi di angkot tersebut. Saat itu saya duduk di dekat pintu angkot, menghadap ke belakang. Di depanku duduk seorang bapak yang amat tua, kurus sekali, kulitnya sudah keriput, badannya bongkok, dan rambutnya putih. Selama berada di angkot saya terpesona pada beliau. Kisah ini sungguh menakjubkan, hingga ku tulis artikel ini. Berikut penggalan kisahnya.

Ketika seorang penumpang naik, langsung duduk di bagian belakang. Dia tidak menutup pintu angkot. Pak tua di depanku itulah yang menutup pintu itu. Ku lihat begitu kuat beliau hingga tak tampak lelah, bahkan senyumnya menghiasi wajahnya. Berapa ya usianya? Bathinku. Nanti kalau ada penumpang lagi, saya yang akan menutup pintu itu, kataku dalam hati. Eh tak berapa lama ada yang naik lagi. Seorang ibu yang tua sekali, rasanya lebih tua dari pak tua tadi. Saya siap untuk membantunya. Ibu itu kesulitan naik, sedang pak tua tampaknya tertidur. Penumpang lain yang berada di sebelah kami diam saja, tampak acuh bahkan dari tadi bermain HP. Ya … akhirnya kubantu ibu tua itu. Ya Allah … saya tak kuat menahan tubuh ibu itu, tangannya ku pegang dengan tangan kanan dan tangan kiriku pegangan angkot. Rasanya badan itu lebih berat dariku.

“Pegangan ya bu.” pintaku lirih.

“Bisa … Bisa … Bisa ….” gumamku.

Ku angkat tubuh ibu tua itu dan ku dudukkan di tempat saya duduk. Keringatku mengucur, ya Allah tak seorangpun membantuku. Remaja-remaja itu acuh sekali. Ampuni kami ya Allah. Saya masih dipintu dan kakiku terpeleset. Saya menundukkan kepala, ingin melihat posisi kedua kakiku. Tiba-tiba sebuah tangan memegang tangan kananku dan diambilnya pula tangan kiriku. Ditariknya kedua tanganku dengan perlahan.

“Angkat kakimu pelan-pelan nak … Ya hati-hati. Nah duduklah di sini … duduk, atur nafasmu sambil berdoa.”

Setelah ku lihat penolongku itu, ya Allah ternyata pak tua. Alhamdulillah, terima kasih ya Allah. Pak tua itu mengambil bangku kayu kecil di bawah tempat dudukku, menutup pintu angkot, kemudian duduk di sebelahku.

“Pak duduk di sini saja.”

“Oh … saya di sini saja.” jawabnya sambil tersenyum.

“Terima kasih pak, maaf merepotkan bapak.”

“Saya yang minta maaf sebab tadi kubiarkan nak ajeng membantu ibu ini. Saya tertidur.”

Saya tertegun mendengar kata-katanya. Pak tua ini malah meminta maaf padaku? Sedang bapak ini jauh lebih tua dariku. Sejak beliau menutup pintu tadi saya sudah terpesona oleh kekuatan dan keikhlasannya membantu menutup pintu. Saya telah belajar sesuatu dari beliau. Selagi saya termenung, ibu tua di depanku berbicara.

“Nak trima kasih ya telah menolongku, maaf ibu membuatmu terpeleset. Untung bapak ini menolongmu. Pak trima kasih ya.”

“Dalam hidup kita wajib tolong menolong, jadi sebenarnya apa yang kulakukan sudah menjadi tugas hidupku.”

“Bapak dan ibu kalau boleh tahu berapa usianya?”

“Saya hampir 100.” sahut ibu tua itu.

“Saya baru di atas 90 nak.” bapak itu menjawab sambil senyum.

Hah? Aku terperanjat mendengar jawaban itu. Sungguh menakjubkan, sudah tua sekali masih kuat dan berani bepergian sendiri. Apalagi pak tua itu malah banyak senyum dan suka membantu. Pegangan tangannya tadi masih kuat, hehehe saya kalah jauh. Ehmm … Banyak pelajaran yang dapat ku peroleh di angkot ini. Belum hilang rasa heranku, ibu tua itu membuka tas, mengeluatkan HP dan bertanya padaku.

“Nak, ini ada sms masuk, ibu lupa cara membukanya. Tolong ajarin ibu ya.”

“Oh ya bu.”

Kemudian ku bantu itu itu membukanya dan kujelaskan. HP-nya Nokia dengan layar sentuh, canggih juga nih. Setelah kujelaskan, beliau menjawab sms cucunya. Bisa, ibu itu bisa sms sendiri. Berarti ingatannya masih bagus sekali. Jari-jarinya juga masih trampil. Subhanallah. Beberapa saat kemudian si ibu turun, dibantu oleh pak tua. Pak tua itu duduk di tempat ibu tadi. Sebelumnya, bangku kayu kecil itu dimasukkannya lagi ke bawah bangkuku. Disiplin sekali beliau ini. Jarang sekali dan hampir tak pernah saya menemukan orang yang peduli seperti beliau ini. Tak berapa lama ku lihat beliau tertidur lagi.

Ehmm … pandai sekali pak tua itu mengatur waktu. Ternyata benar, pendidikan terjadi seumur hidup. Never too old to learn, ehmm … kalimat ini selalu ku ingat. Mengapa? Hahaha tuh tertulis di tas kecil yang selalu menjadi inspirasiku. ”Tas tangan kecilku inspirasiku.” Tas ini hampir selalu ku bawa ke mana-mana. Bayangkan, ibu tua tadi usianya hampir 100 tahun, masih ingin sekali belajar sms dll. HP-nya keren lagi. Lebih-lebih si pak tua yang menakjubkan itu. Allahu akbar. Semoga kita bisa seperti bapak dan ibu itu, selalu menolong dengan tulus ikhlas dan belajar sepanjang hayat. Amin ya rabbal alamin.

image

Kasihan Ibuku (Bagian 1)

Kulihat jam dinding yang ada di kamarku, ternyata masih pagi. Ehmm … mendung itulah mungkin yang menjadi penyebabnya. Kukira sudah jam 11, oh … masih jam 8 lebih sedikit, alhamdulillah.  Musim hujan kotaku menjadi cukup dingin dan segar. Kegiatan pagi sudah kuselesaikan semua sejak sebelum shubuh. Sekarang sebaiknya membuka laptop saja dan membaca info terkini khususnya sekitar hari ibu. Beberapa artikel yang kubaca tadi malam sekitar kisah ibu yang terjajah oleh suaminya, atau terpaksa melakukan sesuatu demi anaknya, suaminya, atau atasannya. Ehmm kasihan ibu-ibu itu.

Setelah dhuhur aku melanjutkan kegiatan rutinku di luar rumah, survey dan memberi les privat di rumah-rumah, katakanlah home schooling. Pada jam 1 siang aku berangkat, meminta tolong tetangga yang setia membantu kami, untuk mengantar ke tempat angkot (angkutan kota). Ketika aku naik angkot, dudukku dipojok belakang. Kuhitung penumpangnya ternyata jumlahnya belum terpenuhi tetapi tempatnya sesak sekali. Hampir semua penumpang ibu-ibu yang super sehat, maksudku gemuk-gemuk seperti aku, hehehe, yang ramping hanya 3, seorang bapak, seorang gadis remaja, dan seorang gadis kecil.

Si kecil duduk bersama bapak sebaya aku dan anak itu memanggilnya kakek. Di sebelahnya duduk seorang gadis remaja yang ternyata tante si kecil dan dia mengatakan mantan muridku. Ya aku ingat wajahnya, ketika itu aku mengajar di 3 SMA Negeri, karena membantu kelas RSBI. Kuingat, dia pandai bahasa Inggris. Kulihat wajah mereka hampir mirip.

“Bu saya dulu adalah murid ibu, nilai kimia saya kurang bagus, jadi saya tidak jadi masuk Farmasi. Saya kuliah di Ilmu Gizi dan sekarang sudah bekerja di bidang kesehatan pangan. Ini ayah saya dan ini anak kakakku yang sejak lahir ikut kami.”

“Ya rasanya ibu ingat, kau … siswa RSBI ya, bahasa Inggrismu bagus, iya kan?”

Dia tersenyum dan mengangguk. Bapak dan si kecil itu duduk diam sambil mendengarkan kami.

“Doakan Bu suatu saat saya akan ditugaskan untuk mengambil S-2 di luar negeri.”

“”Ya sayang, doaku selalu menyertai perjuanganmu. Insya Allah semuanya lancar.”

“Ibu mau kemana? Masih memberi les privat?”

“Oh iya, nanti akan memberi les.”

“Anak-anak pulangnya jam 3 kan Bu? Sebelumnya ibu mau kemana?”

“Ibu sih sekarang makin sering menulis, salah satunya kisah nyata yang mengarah pada pembinaan karakter bangsa. Oleh karena itu, sebelum memberi les ibu sering mengadakan survey, mengamati keadaan Surabaya, mengobrol, atau berdiskusi dengan ibu-ibu atau siapa saja yang ibu temui.”

“Kalau ibu berkenan saya ingin mengundang ibu sekarang ke rumah kami. Sebenarnya saya ingin minta nasehat ibu, seperti apa yang saya lakukan dahulu. Ibu mau kan?”

“Boleh sayang, ini sebenarnya mau kemana?”

“Mau pulang Bu, sebentar lagi sampai. Tadi saya dari kantor, ayah dan Nindar menyusul saya dan janjian ke pasar. Kami sudah belanja tadi.”

“Kiri pak ….” teriaknya pada pak supir. Mereka bertiga turun duluan, aku terakhir. Sebelum turun aku segera membayar angkot untuk kami semua. Untung aku sudah siap dengan uang kecil dan uang itu sudah kusiapkan dari tadi.

“Terima kasih, ibu kok repot-repot membayar ongkos angkot kami.”

“Oh tidak apa-apa sayang.”

Kami berempat masih berdiri di pinggir jalan. Mereka berpandang-pandangan. Ada apa ya? Apakah ada yang mereka ragukan atas kesediaanku menerima undangan mantan muridku ini? Namun tak berapa lama, muridku berkata.

“Maaf Bu, kita jalan kaki saja ya – dekat kok.” katanya sampil menunjuk ke jalan yang lebih kecil di dekat kami berdiri. Berarti angkot tadi pas juga menurunkan kami. Aku sih biasa jalan-jalan, atau mungkin mereka sungkan padaku.

“Mengapa mesti minta maaf, kau tahu ibu dari dulu kan suka jalan kaki.”

“Iya … ya Bu, sekarang berat badan ibu bertambah ya, hehehe maaf mungkin saya kurang sopan.”

“Iya sih, dibanding waktu itu, hehehe. Baju-baju yang kupakai dulu, sekarang kusimpan karena kekecilan, eh suatu saat nanti barangkali bisa kupakai lagi.”

Kami berjalan sambil mengobrol, terutama aku dan muridku. Dia masih seperti ketika SMA dulu. Ya tentulah sedikit lebih dewasa.

“Ah ibu ada-ada saja.”

“Sayang, apa masih jauh rumahmu? Mengapa tak naik becak saja, tadi di sana kan ada becak. Paling hanya 5 ribuan.”

“Oh maaf bu, ibu terasa lelah ya? Apa kita berhenti fdulu bu, itu ada bangku panjang di pinggir jalan di belakang ibu.?

“Tidak sayang, ibu belum lelah kok. Maksud ibu, kalau agak jauh ya enakan kalau naik becak.”

“Maaf ya bu, soalnya sekali naik becak nantinya keterusan, bisa boros. Nah Bu, kita sudah sampai. Saya buatkan teh panas sedikit gula kesukaan ibu.”

“Kau masih ingat sayang, okay thx.”

Kami masuk ke dalam rumah. Di halaman dan di dalam rumah banyak sekali tanamannya. Kuamati tidak ada satu tanamanpun yang palsu, maksudku terbuat dari plastik, hehehe … rajin sekali. Mungkin ayahnya yang rajin. Aku ditinggal sendiri di kamar tamu yang kecil namun terasa asri sekali. Seluruh ruangan ini teratur rapi sehingga enak dipandang. Tak lama kemudian muridku keluar membawa teh buatku. Diletakkannya teh itu di meja, kemudian dia segera masuk lagi dan keluar – duduk di sebelahku. Ternyata dia tadi mengembalikan baki.

“Bagaimana perjalanan hidupmu sejak lulus SMA hingga kini sayang? Sudah makin dewasa nih. Kau cantik sekali, ibu teringat duu banyak temanmu yang pada naksir, iya kan? Ibu senang mendengar kau sudah bekerja. Terus kapan ibu dikirimi undangan pernikahanmu?”

Kucubit pipinya seperti dulu, eh … dia langsung mendekapku dan menangis. Sambil berpikir, kubiarkan dia beberapa saat. Kemudian kuusap rambut dan pundaknya. Mengapa dia ya? Kasihan sekali. Dia dahulu gadis yang amat ceria, disukai teman-temannya. Ya tentulah masalah keluarga. Si kecil itu, ya mungkin tentang anak itu. Ehmm … mungkin juga dia mengalami sesuatu yang membuatnya ingin curhat. Ya Allah, semoga hamba dapat menolongnya.

To be continued –> Bagian 2.